4 November, 2024
AYo Berbagi

Direktur TP Oharda JAM PIDUM Menyetujui 5 Penghentian Penuntutan Restorative Justice

Jakarta – Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (TP Oharda) pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM PIDUM) Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H. memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 5 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif

Kegiatan Ekspose Kamis (16/5/2024) tersebut disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung Dr. Ketut Sumedana, dijelaskan adapun ke 5 Perkara yang di hentikan berdasarkan Restorative Justice yaitu:

1. Tersangka Elfan Panto alias Efan dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

2. Tersangka Miftahul Huda bin (Alm.) Anwar Asmungi dari Kejaksaan Negeri Murung Raya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan Pasal 80 Ayat (1) jo. 76C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Tersangka Adji Prasetyo bin Dedi Riswanto dari Kejaksaan Negeri Siak, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4. Tersangka Silas Raymon Laluba dari Kejaksaan Negeri Halmahera Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

5. Tersangka Wahid bin Jais Irpan dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Dalam keterangan pers disebutkan juga, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

1. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

2. Tersangka belum pernah dihukum;

3. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

4. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

5. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

6. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

7. Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

8. Pertimbangan sosiologis;

9. Masyarakat merespon positif.

Selanjutnya, Direktur Tindak Pidana Oharda memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum, tutup Ketut Sumedana. (Suriman)